Sabtu, 17 Juli 2010

P3 (Peristiwa Perang Porsea)






Pada bulan Pebruari 1942, sebanyak satu kompi (± 200 orang) pasukan Belanda telah bermarkas di gedung Sekolah Dasar (Vervolg School) Porsea, yang terletak di desa Parparean sebelah selatan kota Porsea. Pada tiang-tiang jembatan diikatkan dinamit-dinamit berukuran besar dan dihubungkan dengan kawat listrik ke suatu pusat di gedung sekolah dasar tersebut, dengan maksud agar setiap saat, jembatan tersebut dapat diledakkan melalui alat pemicu ledak.
Pada akhir bulan Pebruari 1942, tentara Jepang telah menduduki kota Medan dan pada Minggu pertama bulan maret, mereka telah sampai di Parapat. Pada waktu yang sama, tentara Belanda terus mundur melalui jembatan Porsea kea rah Selatan, pada waktu itu, setiap hari siang dan malam, rakyat Porsea menyaksikan patroli pasukan Belanda dari Porsea kearah Barat yaitu Ulubius, Lumban Manurung hingga Janjimatogu.
Pada tanggal 09 Maret 1942 sore hari antara jam 18.00 dan 19.00, rakyat janjimatogu melihat dua buah kapal yang mirip kapal karet mengapung di danau Toba,bergerak kea rah sungai Asahan. Sekitar jan 20.00, rakyat desa Lumban manurung melihat pasukan Jepang mendarat dan keluar dari kapal karet. Beberapa orang tentara Jepang berenang pada malam itu sampai dibawah jembatan dan memotong seluruh kawat-kawat penghubung dinamit. Semua itu berlangsung sebelum terdengar tembakan.
Sekitar jam 21.00 seorang patroli Belanda bersepeda motor dari arah utara tiba di Porsea dan berhenti di hadapan jembatan. Patroli ini memberi isyarat dengan lampu sepeda motornya kepada tentara Belanda di seberang jembatan dan ketika itu dia tertembak dengan letusan pertama pada malam itu. Letusan itu menjadi isyarat bagi pecahnya perang tembak menembak antara tentara Belanda dan tentara Jepang di sekitar jembatan Porsea.
Porsea banyak menyimpan kenangan masa lalu. Yang berusia 50 tahun saat ini mungkin masih mengingat popularitas onan Porsea yang disebut “onan tombis”. Ciri pekan kita adalah padat dan sesak, sehingga para anak muda menyempatkan diri masuk di kerumunan sesak itu untuk bersenggolan dengan para gadis. Waaahhh…. ada juga yang kecantol … berlanjut…. dan jadian…. Siapa berani ngaku…?
Itulah kondisi saat itu dan masih dalam koridor tata krama dan menjadi pandangan yang lucu bagi para orang tua.
Porsea selain monumen perang, juga seperti apa yang dikatakan Forum Tapanuli sangat kritis terhadap pelestarian lingkungan hidup dan menentang pengoperasian Indorayon yang saat ini ganti nama menjadi TPL.
Cagar budaya batak dapat juga di klaim porsea, karena masih banyak situs budaya ditemukan seperti sarkofagus, rumah tradisional, kisah kisah legenda dan panorama alam yang indah.
Porsea juga banyak menyimpan potensi seniman batak seperti “pargonsi” paerajin tenun dan panggorga.
Horas Porsea, Horas Tano batak, Horas Bangso Batak.

1 komentar:

  1. mantap juga kisah heroic penjajahan di Porsea kita ini yaa.a...

    BalasHapus

Pengikut