Aksara/huruf Batak atau disebut ‘Surat Batak’ adalah huruf-huruf yang dipakai dalam naskah-naskah asli suku Batak (Toba, Angkola/Mandailing, Simalungun, dan Karo). Kelompok bahasa sub suku ini mempunyai kemiripan satu sama lain dan sebenarnya adalah cabang dari suatu bahasa Batak tua (Proto Batak). Naskah asli itu sebagian besar berupa pustaha (laklak), sebagian kecil lainnya dituliskan pada bambu dan kertas. Hampir semua orang Batak yang menulis buku tentang Batak selalu memasukkan satu bab atau bagian bukunya tentang Surat Batak atau paling tidak ia membuat sebuah tabel abjad Batak. Ini menunjukkan mereka bangga akan warisan budaya leluhurnya itu. Tetapi sayang sekali karena kurangnya pemahaman kerap kali salah kaprah dan tidak jelas. Kekeliruan ini akan nyata kalau kita terapkan untuk membaca suatu naskah asli Pustaha. Berani saya bertaruh, pasti akan sulit kita baca, alias membuat kita bingung sendiri. Bahkan dalam buku-buku wajib pelajaran aksara Batak yang dipakai di sekolah di daerah Tapanuli banyak dijumpai kekeliruan ini. Soalnya sekarang bagaimana membenahi ini semua ? Banyak buku bermutu dari pakar asing yang sangat baik bisa dipakai sebagai rujukan. Tetapi masalahnya adalah semuanya ditulis dalam bahasa asing, Jerman atau Belanda. Sekarang ini sudah jarang kita yang menguasainya. Syukurlah beberapa tahun lalu, Dr.Uli Kozok, seorang ahli bahasa kuno (filolog) berkebangsaan Jerman, yang menyunting putri Tanah Karo, telah menulis sebuah buku panduan ringkas Surat Batak yang sangat baik dalam bahasa Indonesia “Warisan Leluhur, Sastra Lama dan Aksara Batak”, 1999. Kozok yang pernah menjadi pengajar di Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara (1990-1991) menulis disertasi tentang sastra Batak Ratapan (andung-andung).Dengan buku panduan Dr.Kozok ini diharapkan putra asli Batak yang berminat bisa memiliki bahan acuan yang baik untuk meneliti naskah-naskah tua yang hampir punah, dan masih tersebar di berbagai tempat di luar ataupun di dalam negeri. Ia juga telah membuat suatu font Surat Batak sehingga sekarang kita boleh melakukan pengetikan computer dengan aksara Batak.
Naskah pustaha sekarang sudah sangat langka dan tersebar di beberapa perpustaakan di Eropa. Diperkirakan jumlahnya hanya 2000 buah. Bagaimana caranya mengembalikannya ke tanah air perlu dipikirkan.Naskah batak yang ditemukan dalam bentuk bambu ataupun tulang kerbau dan kertas sangat kecil jumlahnya. Perlu dicatat, sastra Batak kebanyakan tidak ditulis melainkan dialihkan turun temurun secara lisan. Surat Batak hanya dipergunakan untuk ilmu kedukunan, surat menyurat (ancaman). Di daerah Karo, Simalungun, Angkola juga dipakai untuk menulis syair/nyanyian ratapan. Jadi legenda, mitos, cerita rakyat (turi-turian), umpama, umpasa, teka-teki (torhan-torhanan), silsilah (tarombo) tidak akan anda jumpai dalam bentuk naskah Batak asli. Khusus mengenai silsilah marga yang diturunkan dengan tradisi lisan, belakangan menimbulkan berbagai versi. Tidak jarang pecah perselisihan, yang sebenarnya lebih berpangkal pada ego kelompok dan tribalisme.
Kebanyakan naskah berbentuk pustaha. Pustaha adalah semacam buku terbuat dari kulit kayu (laklak) yang dilipat sedemikian rupa dengan sampul terbuat dari kayu alim. (lampak) yang lebih keras. Yang dituliskan pada pustaha pada pokoknya adalah soal-soal yang menyangkut ilmu kedukunan (hadatuon). P.Voorhoeve dan L.Manik yang meneliti 461 pustaha di beberapa perpustakaan di Eropa, sebagaimana dikutip oleh Kozok, membagi ilmu hadatuon :
Naskah pustaha sekarang sudah sangat langka dan tersebar di beberapa perpustaakan di Eropa. Diperkirakan jumlahnya hanya 2000 buah. Bagaimana caranya mengembalikannya ke tanah air perlu dipikirkan.Naskah batak yang ditemukan dalam bentuk bambu ataupun tulang kerbau dan kertas sangat kecil jumlahnya. Perlu dicatat, sastra Batak kebanyakan tidak ditulis melainkan dialihkan turun temurun secara lisan. Surat Batak hanya dipergunakan untuk ilmu kedukunan, surat menyurat (ancaman). Di daerah Karo, Simalungun, Angkola juga dipakai untuk menulis syair/nyanyian ratapan. Jadi legenda, mitos, cerita rakyat (turi-turian), umpama, umpasa, teka-teki (torhan-torhanan), silsilah (tarombo) tidak akan anda jumpai dalam bentuk naskah Batak asli. Khusus mengenai silsilah marga yang diturunkan dengan tradisi lisan, belakangan menimbulkan berbagai versi. Tidak jarang pecah perselisihan, yang sebenarnya lebih berpangkal pada ego kelompok dan tribalisme.
Kebanyakan naskah berbentuk pustaha. Pustaha adalah semacam buku terbuat dari kulit kayu (laklak) yang dilipat sedemikian rupa dengan sampul terbuat dari kayu alim. (lampak) yang lebih keras. Yang dituliskan pada pustaha pada pokoknya adalah soal-soal yang menyangkut ilmu kedukunan (hadatuon). P.Voorhoeve dan L.Manik yang meneliti 461 pustaha di beberapa perpustakaan di Eropa, sebagaimana dikutip oleh Kozok, membagi ilmu hadatuon :
- Ilmu hitam (Pangulubalang, Pamunu tanduk, gadam dll)
- Ilmu putih (Pagar, Sarang timah, Porsimboraon, dll)
- Ilmu lain-lain (Tamba tua, Dorma, Parpangiron dll)
- Obat-obatan
- Nujum :
- Dengan perbintangan (Pormesa na sampulu dua, panggorda na ualu, pane na bolon, porhalaan dsb)
- Dengan memakai binatang (Aji nangkapiring, Manuk gantung, Porbuhiton dsb)
- Nujum lain-lain (Rambu siporhas, Panampuhi, Hariara marsundung di langit, Parombunan dsb)
Beberapa koreksi untuk aksara Batak Toba :
- Huruf /a/ dalam bentuk yang melengkung lebih banyak ditemukan daripada bentuk garis tajam
- Huruf /ma/ dalam bentuk dalam bentuk yang sudah sering dikenal umum ternyata berbeda dari yang dipakai pustaha
- Huruf /pa/ bentuk nya lurus saja
- Aksara batak sama sekali tidak mengenal angka
- dan masih banyak yang lainnya yang sudah terlanjur salah kaprah.